Kamis, 03 September 2015

Indonesia Poros Maritim Dunia -- Bagian 2

Pada bagian pertama kami telah sedikit menjelaskan sisi trading, bagaimana transaksi perdagangan dengan CNF dan FOB sangat mempengaruhi hidup dan berkembangnya Industri Pelayaran pada suatu negara.
Mari kita ambil satu ilustrasi, dan kita coba betapa "dahsyat"-nya potensi pemasukan "devisa" negara jika para Eksporter dan Importer ini meng-aplikasikan mekanisme perdagangan CNF dan FOB, sehingga pemahaman kita bisa satu visi dan di masa-masa mendatang Indonesia, terutama pelaku "trading" dapat memahami bahwa dengan Eksport CNF dan import FOB, mereka sesungguhnya telah menjadi "Pahlawan Nasional" di sektor Ekonomi dan otomatis langsung atau pun tidak langsung telah menjadi penolong perekonomian Nasional.
(Terutama penguatan usdollar vs Rupiah saat ini (di Sept 2015 di mana 1usd = Rp14.000), semakin giat para trader tsb melakukan eksport, maka Rupiah dari waktu ke waktu bisa semakin membaik...) 

Info ini ril, (silahkan cek lagi datanya) bahwa eksport batu bara Indonesia pernah tembus di angka 300.000.000 ton (tiga ratus juta ton) per tahun. Angka eksport kisaran antara 2011 - 2013, barangkali bisa dicek ulang...
Kita membayangkan jika 300 juta ton itu jika ditebar ke permukaan (cover), barangkali bisa menutupi satu pulau Jawa. Jika penjualannya CNF, maka yang mencari kapal adalah penjual (eksportir/trader) atau penjual batubara yang ada di Indonesia.  Kenyataannya penjualannya dilakukan dengan FOB, sehingga hampir 100% eksport batubara Indonesia dikapalkan dengan armada asing, sungguh "memilukan" - sehingga potensi pendapatan devisa melayang...

Gambaran potensi peraihan devisa kami ilustrasikan sbb:
Di tahun 2011 - 2013 -- katakanlah freight (uang tambang) untuk pengapalan rata-rata ke Tiongkok (China) di kisaran usd15pmt, maka hitungan sederhana usd15 X 300,000,000 = usd4,500,000,000 atau usd4,5 milyar. Maka uang sebesar itu bisa menumbuh-kembangkan industri pelayaran Nasional. Itu mungkin gambaran "rough" pemasukan uang tambang (freight) dari sisi usdollar, mungkin net (bersih) pemasukan tidak sebesar itu...
Bayangkan jika industri transportasi laut kita hidup, maka akan terjadi multiplier effect dari sisi:

- Penyerapan / Penambahan tenaga kerja dari sisi crew kapal
- Hidupnya industri galangan kapal baik itu untuk pembuatan kapal-kapal baru, mau pun untuk
   docking kapal.
- Teknologi ahli perkapalan bisa bertambah
- Menggelatnya eksport mau pun import
- Memungkinkan pembenahan (perbaikan) dan penambahan pelabuhan-pelabuhan
   di seluruh Nusantara
- penguatan ekonomi Nasional, karena pemasukan devisa usdollar bertambah, otomatis usdollar
  tidak  sekuat seperti sekarang (Agustus - September 2015 di mana 1usdollar = Rp14.000)

Nah itu baru dari satu komoditi yaitu : coal (batubara)

Indonesia punya komoditi eksport primadona seperti:
- batu bara,
- nickel
- bijih besi
- timah
- crude palm oil (CPO),
- semen (memungkinkan bisa eksport)
- pupuk (sering terjadi eksport) dan dijual dari pabrikan selalu FOB)
- steel product (produk dari Krakatau Steel dan pabrikan lainnya)
- dan lain-lain dalam bentuk tanker dan
  komoditi eksport bulky lainnya..

Sementara Indonesia sering melakukan import, di mana komoditinya antara lain:
- garam,
- gandum,
- beras
- dan lain sebagainya yang tidak terdeteksi...

Semua itu butuh Kapal Laut...
-------> Namun bisakah kita jika eksport dengan CNF dan import dengan FOB??

Tahukah kita bahwa Indonesia adalah Eksportir dalam urutan 5 (lima) besar untuk Batubara di dunia. Eksport coal Indonesia pernah tembus mecapai 300 juta ton per tahun, namun eksport sebesar itu belum dapat meningkatkan Industri Pelayaran nasional...

Untuk "trading" di mana kita mengetahui pentingnya menerapkan CNF dan FOB sesungguhnya letak permasalahan di mana sih??

Menurut hemat kami ada beberapa permasalahan yang mesti di-"jabarkan" di sini agar seluruh "stake holder" atau pihak-pihak terkait baik pelaku industri Pelayaran, Trader (Ekportir/Importir), khususnya Pemerintah ke depan bisa improve.  Bangsa kita ke depan bisa "SATU VISI" untuk penanganan trading (eksport / import) negara kita ke depan. Isu-isu yang berkenaan dengan CNF & FOB antara lain sbb: 

A. Kekurangpahaman (minim pengetahuan) di Industri Transportasi Laut
     atau lemahnya pengetahuan para trader (eksporter & importer) akan negosiasi dengan
     kapal laut. Lemahnya pengetahuan tentang klausul-klausul pengapalan, terutama klausul
     pengapalan untuk eksport mau pun pengapalan import..
B. Lemahnya skill negosiasi dengan pihak pembeli / penjual di luar negeri
C. Ketidaktahuan ke pihak mana yang harus dihubungi, jika akan melakukan negosiasi
     dengan Kapal Laut
D. Hal yang paling penting, jika CNF maka penjual harus "cover" freight (uang tambang)
     di depan, eksportir / importir (jika FOB) Indonesia tidak mau "berkorban" mendanai 
     freight di depan, demikian pula jika FOB importir Indonesia juga tidak mau mendanai
     freight untuk sewa kapal...
E. Perlunya intervensi Pemerintah, guna memberikan "insentif" mau pun "intensif" baik itu berupa
     kemudahan fiskal, pemotongan biaya (barangkali dari sisi pajak) atau pun aturan stimulus lain
     berupa pendanaan pembayaran freigh oleh bank agar para eksportir bergairah  sehingga
     eksport CNF dan import dengan FOB
F. Dan lain sebagainya

Nah, jika permasalahan "Trading" ini kita bangsa Indonesia telah "satu visi" terutama satu visi dari sisi Pemerintah,  maka kami yakin sekali bahwa VISI Indonesia sebagai "Poros Maritim Dunia" akan tercapai, dan bangsa kita tidak lagi sebagai "penonton" tapi kita benar-benar sebagai pelaku di Industri ini. 




Inti dari Indonesia menjadi "Poros Maritim Dunia" adalah dengan kita yang meng-kontrol kapalnya, baik itu Eksport mau pun Import. Jika pihak luar negeri yang meng-kontrol kapalnya, maka kondisi Indonesia yang dulu akan sama dengan Indonesia yang akan datang, yaitu kita bukan "PELAKU" akan tetapi "Penonton" sehingga "Poros Maritim Dunia" di Indonesia yang menikmati adalah pelaku Asing, bukan bangsas Indonesia.




Selasa, 07 Juli 2015

Indonesia -- Poros Maritim -- Bagian 1

Akhir-akhir ini cukup banyak istilah "kalautan" seperti "Poros Maritim" seiring dengan istilah "Tol Laut" yang pernah di-ekspos oleh elit negeri kita beberapa waktu lalu.

Kami melihat beberapa tulisan di media elektronik, apa sih sesungguhnya itu "Poros Maritim" itu?? Banyak tulisan di media yang berkaitan dengan "Poros Maritim", seperti pengembangan "Marikultur" yaitu pengembangan hasil budidaya laut seperti : jenis rumput laut, budi daya laut lainnya seperti ikan ternak dsb. http://swa.co.id/business-strategy/marikultur-dukung-implementasi-poros-maritim


Marikultur menjadikan laut bagai "sawah" hanya saja hasilnya seperti budidaya ikan, budi daya sejenis rumput, kerang, udang dsb...


Ada lagi konsep "Poros Maritim" di mana pengertiannya adalah kejayaan laut berbasis "Posisi strategis Indonesia" juga dilihat dari sisi kekayaan lautnya. Kalau yang ini, melihat laut dari sisi yang jauh lebih luas lagi, tidak hanya menitikberatkan kepada kekayaan budidaya laut, namun juga melihat sisi transportasi laut Indonesia sebagai sarana yang juga bisa dipakai sebagai pemasukan perbendaharaan negara, atau pemasukan dari sisi "income" yang menjanjikan di era-era mendatang. https://www.facebook.com/muhammad.salahuddien.manggalanny/posts/10203288015415630

 Industri Pelayaran, Negara memperkuat sektor Jasa Pelayaran, Pembenahan pelabuhan laut guna peningkatan muat dan bongkar, memfokuskan kelancaran lalu-lintas arus barang guna kesetabilan harga dan kesediaan komoditi di setiap wilayah di seluruh Indonesia

Lantas mana yang benar?
A. Laut sebagai Marikultur yakni dengan pengembangan budi daya laut seperti rumput laut,
     budi daya ikan laut, terumbu karang dsb... atau
B. Laut sebagai transporter, sebagai penjamin arus dan lalu lintas komoditi, baik primer
    dan komoditas unggulan lainnya. 
C. Atau "Poros Marim" adalah pewejawantahan dari kedua di atas??

Menurut hemat kami, kita harus FOKUS! Negara kita sebaiknya lebih FOKUS!

Sisi mana yang sangat bisa dikembangkan sehingga ketika Negara FOKUS, maka "Multiplier Effect" dari pengembangan sektor kelautan bisa "sustain" atau bertahan dalam jangka panjang. Sustain yang kami maksud di sini, adalah kita baiknya mempertimbangkan pemikiran strategis (jangka panjang dan bukan euforia sesaat)  dan hal yang paling penting adalah sektor kelautan yang dikembangkan itu dapat menjadi "primadona" sehingga menjadi "tulang punggung" perekonomian negara ke depan.  Menjadikan sektor "Transportasi Kelautan" ini sebagai andalan pendapatan devisa negara terbesar yang menggantikan sektor MIGAS di era-era yang telah lampau.

So, mana yang terbaik?
Apakah pengembangan sektor Marikultur?
Atau Pengembangan sektor transportasi laut?

Menurut kami - Sangat tepat jika Indonesia mengembangkan Sektor Transportasi Laut:  Sektor ini yang sangat memungkinkan Indonesia menjadi negara maju dan mimpi kita sebagai "Poros Maritim"  Internasional akan terwujud. Pendapatan negara, jika sektor ini difokuskan akan bisa lebih baik dan pemasukan negara pun bisa lebih besar. 

Ada hal yang perlu kita camkan, bahwa kita jangan terjebak dengan "euforia" dan terjebak dengan istilah-istilah yang dikemukakan elit negeri ini tanpa kesiapan dari sisi SDM, dan kesiapan dari pengetahuan transportasi kelautan. Jika kita tidak siap, maka ke depan bangsa kita lebih menjadi "penonton" ketimbang menjadi "pelaku". Sehingga sektor "transportasi" kelautan ini yang menikmati bukan bangsa kita, namun lagi-lagi pihak asing!

Seiring dan sejalan dengan pengembangan sektor kelautan ini adalah pengetahuan SDM kita di bidang TRADING atau sektor Perdagangan. Mengapa?
Sektor Perdagangan / Trading ini dapat memicu sektor transportasi Nasional menjadi tumbuh, hidup dan pemasukan devisa terbesar negara kita.
Trading dan industri shipping berjalan seiring.
Sektor trading terpuruk - Sektor shipping juga ikut ambruk. Itu yang terjadi secara paralel di muka bumi. Tidak hanya shipping tapi jika trading ambruk, maka sektor transportasi dunia pun otomatis ikut terpuruk. 

Tiongkok (China) misalnya, mengapa negara itu memperoleh devisa terkuat di dunia, ini berkenaan dengan sisi Trading yang kuat pula. Tiongkok (China) saat ini tidak hanya sebagai manufaktur dunia, tapi negeri Tirai  Bambu ini sangat "lihai" berdagang kepada negara mana saja yang membutuhkan produk / jasa negara mereka, dengan harga yang sangat-sangat kompetitive. Tiongkok (China) dari dulu kita mengenal negeri ini dengan pedagang "PALUGADA", maksudnya "Apa Loe Mau Gue Ada" yang penting harga cocok. Kita perlu meniru sisi baik mereka. Sehingga Tiongkok (China) yang sekarang ini kita kenal, bisa menjadi negara yang kuat ekonominya bertopang kepada:

- Sisi trading
- Sisi manufaktur
- Sisi penguatan transportasi laut.
- Tentu juga ditopang dari sisi SDM dan IT yang kuat.  

Mari kita cek pelabuhan-pelabuhan di seluruh negeri Tiongkok, di sana kapal mengantri untuk sandar (untuk muat dan bongkar) paling lama hanya 3 (tiga) hari. Itu untuk ukuran kapal-kapal 50.000ton (lima puluh ribu ton). Dan kecepatan muat atau bongkar kargo bisa mencapai 15.000ton hingga 20.000ton per hari. Jadi untuk membongkar 50.000ton cukup dengan 3 sd 4 hari saja.
Seluruh pelabuhannya kedalamannya sangat bagus bisa mencapai 13mtr-an, sehingga kapal-kapal besar bisa sandar di sana, dan fasilitas pemuatan / pembongkaran yang dilengkapi dengan shore crane sehingga muat / bongkar bisa dilakukan dengan sangat cepat.

Sektor "Trading" harus digalakkan oleh Indonesia bertumbu pada kekuatan komoditi lokal. Jika produk unggulannya pada komoditi energi seperti coal, iron ore, nickel, maka "genjot" dan perkuat dengan eksport komoditi itu. Thailand memperkuat dengan eksport produk pertanian dan industri otomotif, Tiongkok (China) memperkuat dengan ekport industri manufactur dan elektronik, Amerika memperkuat dengan eksport peralatan perang dan film-film Hollywood. Indonesia: sektor mana yang menjadi andalan perdagangannya?? 


Trading --- "Ship Follow the Trade"
Banyak diantara kita yang belum paham apa sih "ship follow the trade"?
Mengapa tidak "Trade follow the ship"? 

Orang yang bermain di Industri pelayaran bisa rata-rata dapat memahami istilah "ship follow the trade" dan istilah itu tidak akan pernah berubah menjadi "Trade follow the ship". Mengapa?
Pertama
Ini adalah istilah "baku" yang sepertinya telah membumi bagi pelaku pelayaran, terutama pelayaran dunia. Istilah ini berlaku untuk "pemain" di Industri Pelayaran saja sebenarnya, bukan berlaku pada mereka yang melakukan trading (tidak berlaku buat pelaku eksportir / importir komoditas).
  Kedua
Makna dari "ship follow the trade" ditujukan kepada siapa yang membayar "freight" maka shipowner kapal akan bergerakkan kapalnya (moncong kapal bergerak) ke arah mana sesuai instruksi dari si pembayar "freight". Jadi jika si pembayar freight, meminta shipowner pergi ke pelabuhan A untuk muat, maka owner kapan akan meng-instruksikan kapalnya ke pelabuhan A dst..

Ketiga: 
Oleh karena itu terminologi CNF dan FOB di sini menjadi sangat penting! Penting sekali. 
Sehingga para trader Nasional mesti memahami mengapa CNF dan mengapa FOB serta implikasinya dari melakukan CNF dan FOB. 
CNF - Cost and Freight istilah dalam L/C (Letter of Credit) di mana si penjual komoditi yang mencarikan kapalnya serta yang membayar freight-nya juga penjual!
FOB - Freight on Board juga istilah dalam L/C (Letter of Credit) di mana si pembeli komoditi yang mencarikan kapalnya, tentu pembeli pula yang membayar freight-nya!



 Skema perdagangan Internasional lintas negara bukan model perdagangan "Cash and Carry", akan tetapi menggunakan jasa perbankan dengan perjanjian yang tertera pada L/C (Letter of Credit). Namun pelaku perdagangan di Indonesia ketika eksport maka eksport-nya dengan FOB, ketika import, import-nya dengan CNF. 
Namun tahukah kita bahwa CNF & FOB berkenaan dengan hidup / mati industri pelayaran Internasional di suatu negara, dan itulah yang menyebabkan industri pelayaran Nasional kita "jago kandang" saja.
Dengan model "dagang" kita eksport FOB dan import CNF, maka dipastikan kita belum mampu menjadi "Poros Maritim Dunia" jika dipaksakan, maka kita lebih menjadi "penonton" ketimbang menjadi "pelaku"


Ship Follow the Trade berkenaan dengan CNF dan FOB. 
Jika "trading" dilakukan dengan CNF, maka ramai-ramai shipowner akan mengejar si penjual komoditi, karena penjual yang kontrak kapal serta yang membayar freight (uang tambang). 
Jika "trading" dilakukan dengan FOB, maka ramai-ramai shipowner akan mengejar si pembeli komoditi, karena pembeli yang kotrak kapal serta yang membayar freight (uang tambang). 
Sehingga industri Pelayaran suatu negara akan hidup dan tumbuh seiring dengan terminologi CNF dan FOB. Yang terbaik adalah ketika eksport, maka lakukanlah eksport dengan CNF dan jika import maka lakukanlah dengan FOB, bukan sebaliknya. 

Para pelaku trading di Indonesia dalam berdagangan melakukan sebaliknya, jika eksport maka eksportnya dengan FOB dan jika import maka importnya dengan CNF.  Jika kondisi seperti ini maka seluruhnya pihak asing yang sangat diuntungkan, dan yang lebih parah lagi adalah : "Industri Pelayaran Nasional pun ambruk". Industri pelayaran Nasional hanya "Jado Kandang" apalagi dengan "Azas Cabotage" bertambah-tambah-lah "Jado Kandang-nya" industri pelayaran Nasional kita. 

Nah, jika Indonesia ingin menjadi "Poros Martim" dunia, maka para pelaku trading itu ikut memainkan peran dalam perdagangan dengan eksport CNF dan import FOB, sehingga Negara kita bukan "penonton" akan tetapi bisa menjadi "pelaku" di "Poros Maritim" dunia....

Bersambung di "Poros Maritim 2"... 


Sabtu, 13 Juni 2015

Tol Laut...

Belakangan ini ada istilah yang sering kita dengar: "Tol Laut"...
Headline tentang "Tol Laut" ini,  sempat membahana dalam skala Nasional dan ramai dirilis mulai dari media elektronik, media cetak, dan sebagainya. Dan beberapa waktu lalu ada pula hearing di Kadin  Indonesia bertajuk "Efek Tol Laut Pemerintahan Jokowi - JK"

Kami kebetulan praktisi di industri transportasi laut tentu senang-senang saja dengan adanya istilah baru ini. Hmmm "Tol Laut" menurut kami "one of brillian idea" dari pak Jokowi guna mem-'boost up' perhatian media agar potensi "laut" Nusantara menjadi perhatian anak-anak bangsa ini.

Orang-orang awam pasti bertanya-tanya "...wah pak Jokowi akan membangun jalan tol di laut..." ya begitulah kira-kira. Mungkin saja itu. Ya bisa jadi karena pembebasan lahan di pulau Jawa kan mahal, ya sebagusnya kita buat jalan tol (jalan bebas hambatan) di atas lautan...hehehe....Dan coba kita cek perkembangan pembangunan panjang tol di Indonesia selama beberapa dekade ini dibandingkan dengan negara-negara lain jauh tertinggal. Sejak awal pembangunan hingga sekarang total panjang tol Indonesia hanya 774 km. Dibandingkan dengan Malaysia, negeri ini total panjang tol telah mencapai 3.000km. China telah mencapai 60.000km -- Referensi: http://bisnis.liputan6.com/read/693354/video-panjang-jalan-tol-indonesia-774-km-malaysia-3000-km
Info yang dapat negara-negara tersebut membangun tol 10 tahun setelah Indonesia.


Di era Pemerintahan yang sebelumnya ada beberapa jembatan/jalan (tol) laut yang menghubungkan antar pulau yang telah diresmikan -- yakni jembatan Suramadu dan tol Bali - Benoa. Yang terakhir yang digadang-gadang akan dibangun adalah jembatan Selat Sunda (yang akhirnya batal)

Jembatan yang mungkin dikatakan "Tol Laut" pertama kali dibangun di atas lautan yakni yang menghubungkan antar pulau adalah jembatan Suramadu. Jembatan ini telah selesai pembangunannya yang menghubungkan antara Surabaya dengan pulau madura. Jembatan ini dengan Panjang Total 5.438 meter dan dengan  kisaran biaya pembangunan sebesar Rp 4,5 triliun selesai di tahun 2009. Referensi: http://oktavita.com/suramadu-bridge.htm
Dikatakan di sana "...Pemerintah China menyediakan dana senilai US$ 280 juta, melalui Bank Ekspor Impor China sedang Pemerintah Indonesia menyediakan dana pendamping 10% dari total biaya... "Kita lihat selesai pembangunannya kan tahun 2009,  kita tahu di tahun itu bukan di era Presiden Jokowi-JK.

Tol Laut berikutnya yang telah dibangun adalah yang menghubungkan Jawa - Bali jalan tol Nusa Dua-Ngurah Rai - Benoa dengan biaya kisaran Rp2,4 triliun.  Referensi: http://finance.detik.com/read/2013/06/12/082822/2270888/4/ini-dia-jalan-tol-di-atas-laut-saingan-tol-bali Dan "Tol Laut" ini pun selesai pembangunannya di era presiden SBY (September 2013) Referensi : http://www.solopos.com/2013/09/24/resmi-dibuka-sby-jalan-tol-bali-gratis-sepekan-450450

Dikatakan di sana Jalan tol sepanjang 12,7 km ini menelan biaya sekitar Rp2,5 triliun dan dikerjakan selama 14 bulan. Tol yang dibangun yang kebetulan di atas lautan ini pun dibangun dan diresmikan bukan di era Presiden Jokowi - JK.

Kita pun tentu bertanya, proyek yang mana  nih dari pak Jokowi yang katanya membangun jalan tol di lautan?


Menurut hemat kami, saking derasnya penguatan sektor transportasi jalan darat di era Pemerintahan sebelumnya sehingga membuat orang Indonesia selalu berfikir yang namanya "Tol" adalah infrastruktur jalan raya di darat yang "melulu" dilalui oleh mobil, bus, truk, motor dan sejenisnya. Menurut hemat kami penguatan moda jalan darat itulah yang membuat harga transportasi Nasional kita lebih mahal serta sulit berkompetisi dengan negara lain (biaya transportasi kita lebih tinggi dengan negara-negara ASEAN lainnya).
 
Padahal "laut" itu adalah media "tol" yang sesungguhnya. Coba kita ke laut dan cek seluruh kapal laut, pasti tidak ada "rem"-nya. Kapal laut dan kapal terbang, adalah dua moda/alat transporter yang masing-masing beroperasi dengan tidak pakai rem. Ya kalau kapal terbang, rem-nya hanya dilakukan ketika mendarat saja. Namun ketika berada di udara, apakah pesawat udara tidak pernah nge-rem? Kapal laut pun sama, ketika di laut, kapal sama sekali tidak bisa di-rem..., kapal laut hanya bisa mengurangi kecepatannya dengan propeller mundur, itu pun mesti ada jeda dulu beberapa menit, kalau tidak tentu mesin kapal akan jebol. Sehingga lautan adalah jalan "bebas hambatan" bagi kapal laut.
Jadi menurut pendapat kami "Tol Laut" yang sesungguhnya : laut itu sendiri.  Ya tentu jalan tol untuk kapal laut. Karena ketika kapal laut berlayar, maka kapal tersebut bisa dibilang berjalan / berlayar dengan "bebas hambatan". Sehingga lautan bukan tol untuk mobil, bus, truk dsb hehehe...Ketika kapal laut mencapai kecepatan maksimum katakanlah 14knot, maka kecepatannya akan efektif 14knot.

Mengapa disebut "Tol Laut"? -- Tol laut yang dimaksud adalah penguatan "Armada Laut" dan revitalisasi VISI Transportasi Nasional dari Moda Transporter Darat ke Moda Transporter Laut - yaitu penguatan moda kapal-kapal laut dan pelabuhan tentunya. 
Kebetulan kami pernah melihat presentasi Pak Lino. Dari beliau kami mendengar istilah "Pendulum Nusantara". Istilah ini yang  dipopulerkan oleh RJ Lino - yang juga Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) . Ide yang digagas beliau menurut kami masuk akal dan bagus, dan esensi Tol Laut sebenarnya bisa jadi ada di sini. Beliau ini mengambil inisiasi "Pendulum Nusantara" ini dengan duplikasi "Pendulum Dunia" untuk kapal-kapal kontainer dari Asia ke Eropa, dan sebaliknya. 
Duplikasi yang pernah dilakukan oleh kita adalah "Azas Cabotage" yang dulu di-inisiasi oleh Pak Oentoro Soerya, di mana negara-negara lain yang juga melakukan itu antara lain Jepang, China dan Amerika.

"Pendulum Nusantara" kurang lebih penjabarannya : 
Kalau kita bicara kapal laut, maka kita bicara "komersil". Owner kapal laut ketika membeli kapal semestinya telah berhitung sampai kapan kapal tersebut akan kembali modal (ROI - Return of Investment). Investasi kapal laut dipastikan "High Investment".  Dibutuhkan dana yang besar, katakanlah harga kapal kisaran 3,500dwt saja kapal 2nd hand pembuatan tahun 2.000-an bisa mencapai kisaran usd3 sd usd4 juta-an bergantung negara pembuatnya dan spec yang diminta serta semakin muda usia kapal, maka harga pun semakin tinggi.

Kaitannya antara "Pendulum Nusantara" dengan ROI (Return of Investment) pembelian kapal?  Mari kita cermati skema "Pendulum Nusantara melalui gambar di bawah: 


Kapal kita anggap ambil muatan jalan dari Belawan ke Batam terus ke Jakarta terus dan terus hingga berujung bongkar di Sorong. Di Belawan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makasar itu boleh dibilang sudah pasti ada muatannya. 

Ketika berlayar sebaliknya dari Sorong ke Makasar, terus ke Surabaya terus dan terus hingga berujung ke Belawan -- apakah ada kargo baliknya? Jika tidak ada muatan balik, maka rugi dong...perginya saja ada muatan, baliknya kosong? - kan rugi...

Tidak akan rugi, mari kita cermati lagi ilustrasi di bawah ini: 



Gambar di atas ada bola-bola yang berwarna kuning kehijau-hijauan. Bola-bola tersebut ada yang berukuran besar, dan ada pula berukuran kecil. Bola yang besar menunjukkan bahwa muatan / kargo dari pelabuhan tersebut sangat besar, sementara bola yang kecil menunjukkan muatan kargo di pelabuhan tersebut relatif lebih kecil.

Kapal jalan membawa kargo dari Barat ke Timur, yaitu dari Belawan, Tg Priok/Jakarta, Tg Perak, Makasar penuh dengan muatan. Nah ketika kapal penuh dengan muatan dari pelabuhan-pelabuhan tersebut, maka  uang tambang / freight-nya harus dibuat LEBIH TINGGI. Uang tambang (freight)  harus telah dihitung untuk ongkos balik jika kapal KOSONG MUATAN dari Sorong ke Makasar ke Tg Perak ke Batam dan Belawan.
Kapal berlayar begitu terus, sehingga bolak-baliknya kapal mengikuti gerakan "pendulum".
Nah jika kondisi ini terus berlangsung, dan terjamin "direct berthing" tanpa harus mengantri, maka inilah "Tol Laut" mungkin dimaksud. Kami setuju. Hitungan ROI dari investasi pembelian kapal kami yakin dapat sesuai rencana.  

Jika ide "Pendulum Nusantara" ini dapat dijalankan maka efek positif-nya antara lain:

a. Pemecahan masalah "disparitas harga" untuk komoditi yang ada Indonesia Timur
    terutama di Irian Jaya, sehingga nantinya semen di sana harganya bisa mencapai
    kisaran Rp100 ribuan saja per sak.  (sekarang ini konon kabarnya harga bisa
    mencapai Rp1 juta per sak)
b. Pemerataan pembangunan di Indonesia Tengah dan Timur, karena arus input material
    untuk pembangunan terjamin harganya, terjamin stok nya dsb
c. Yang penting lagi adalah ini merupakan trigger "Pertumbuhan Ekonomi" Nasional.
d. Ke depan ada penyerapan sektor tenaga kerja di Industri Kelautan, dan sektor industri
    lainnya  tentu ini bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
e. Jika ide Pendulum Nusantara ini dapat berjalan, tentu sektor pembenahan pelabuhan
    di daerah terpencil akan lebih baik dari waktu ke waktu.

Konon kabarnya investasi Tol Laut ini mencapai 109T. Itu berita yang kita dapat dari Meneg BUMN melalui rilisnya di : http://finance.detik.com/read/2015/04/06/135005/2878994/4/bumn-didorong-dukung-tol-laut-jokowi-menteri-rini-investasinya-rp-109-t
Berapa pun investasinya, ide ini "One of Brillian Idea and Different from other president!"
 

Selasa, 09 Juni 2015

Prologue -- Indonesia Is My Country

Teman, dan saudara/saudari sebangsa Indonesia...,
Coba lihat dan perhatikan peta Indonesia negara kita....

Ibarat pedagang, posisi menentukan ramainya pembeli, di sisi lain ibarat pemain sepak bola posisi menentukan prestasi - kita tahu jarang sekali pemain belakang menciptakan gol, rata-rata striker yang menciptakan gol.

Indonesia bagai pedagang, Tuhan Yang Maha Esa telah menentukan letak Indonesia sudah berada di tempat yang "ramai" tempat yang menjadi lalu-lalang para pengunjung, ada yang cuma melongok lihat-lihat, ada yang sekedar lewat, ada pula yang mampir betul-betul nongkrong melihat dagangan  di tempat yang namanya Indonesia...

Bagai striker di lapangan sepak bola, kita itu selalu di depan gawang, tinggal gocek-gocek sedikit, bermain ulet dan jika dapat mengecoh pemain belakang lawan, maka gol akan tercipta.
Intinya : Indonesia itu Poros Dunia, "The heart of Asia", betul-betul Zamrud khatulistiwa yang sungguh tak ternilai harganya. Dan satu hal lagi, menurut kami pribadi Indonesia itu bisa memboikot dunia..., bukan dunia yang memboikot Indonesia. Hasil bumi apa yang ada di belahan dunia lain, ada di Indonesia -- sebaliknya hasil bumi yang ada di Indonesia belum tentu ada di negeri lain...Indonesia itu kaya sumber daya alamnya, buminya penuh berkah...sampai-sampai ilmuan Brazil Prof Arysio Santos dalam bukunya "Altantis the Lost Continents Finally Found"  merujuk negeri Atlantis adalah Indonesia (betul tidaknya perlu kajian mendalam...)

Sebaiknya Bangsa Indonesia tak terlintas  di benak mereka akan bergantung dengan bangsa lain. Justru sebaliknya bangsa lainlah yang bisa bergantung dengan Indonesia, jangankan boikot dari sumber daya alam, kasus "export" asap Riau saja, Singapura dan Malaysia pernah resah, apalagi kita mengerahkan segenap kemampuan kita untuk menyaingi mereka. Lihatlah peta Indonesia, betapa negara-negara tetangga justru sangat diuntungkan dengan negeri kita.

Sudahlah, sudah banyak anak bangsa ini yang mengetahui potensi Indonesia, kemolekan negerinya, potensi sumber daya alamnya, besar hasil buminya, ada segudang dan bertumpuknya kebaikan yang terpendam di negeri yang bernama Indonesia.
Hanya saja kita masih tertinggal dalam menggali "potensi Sumber Daya Manusia". Indonesia tertinggal dari negeri-negeri lain dengan satu kata : "manusia" - makhluk termulia yang dicipkatan Allah - Tuhan Yang Satu, andaikan manusia itu tahu untuk apa dia diciptakan...

Di sisi potensi laut, jika kita bangsa Indoneisa jeli, sungguh jelas laut kita bisa menopang perekonomian bangsa.  Bahwa dari sisi kelautan,  yang paling utama dari sisi transportasi laut, perekonomian Indoesia bisa tumbuh dan menggantikan sektor migas yang pernah sangat diandalkan negeri ini  di era 80-an, di era pak Harto dulu. Lihatlah peta di atas, Indonesia adalah negara kepulauan dan laut seharusnya bukan pemisah antara satu pulau dengan pulau lainnya. Tetapi laut justru pemersatu bangsa (ada pada deklarasi Djuanda), dan sektor transportasi laut sungguh bisa menjadi penopang perekonomian bangsa.

Bagi negara kepulauan perlu media atau "jembatan" yang dapat menghubungkan satu pulau ke pulau yang lain, dan media yang dapat memindahkan sumber daya alamnya dari pulau yang surplus ke pulau minus. Media ini berfungsi melancarkan arus barang (komoditi) dan arus manusia sehingga ekonomi bisa tumbuh. Dengan terjaminnya kelancaran arus barang dan manusia, ini dapat mengurangi "disparitas" harga bahkan dapat membuat kesama-rataan harga antara satu pulau dengan pulau lainnya.
"Jembatan" yang paling efektif, yang paling murah (ekonomis), yang bisa membawa ribuan ton komoditi, baik itu komoditi primer, mau pun komoditi lainnya guna membangun ekonomi kawasan tertinggal, yaitu kapal laut. Pelabuhan dan armada (Kapal laut) dua hal yang tak terpisahkan agar terciptanya kelancaran arus barang (komoditi) dan arus manusia untuk negara kepulauan seperti Indonesia.

Sedikitnya pemahaman betapa vitalnya moda transportasi laut dan belum terbukanya visi bangsa kita tentang betapa strategisnya sektor transportasi laut, membuat moda transportasi darat hingga saat ini sangat vital - besarnya mencapai 91.25% dari seluruh moda transportasi Nasional, dikutip dariMateri presentasi ALFI (Association Logistics & Freight Forwarding Indonesia - "Logistics Reform for Indonesia Competitiveness" tahun 2014 lalu.

Model penguatan moda transportasi jalan darat yang selama ini terjadi di Indonesia membuat ongkos transportasi Nasional, terutama biaya angkutan komoditi menjadi sangat mahal, yang termahal di ASEAN. Bisa dilihat dari tabel di samping, kita masih tertinggal dengan Vietnam dan Thailand dalam hal biaya transportasi.


Selama beberapa dekade, penguatan sektor jalan darat terbukti tidak dapat mengurangi disparitas (perbedaan) harga komoditi antara Indonesia bagian Barat, Indonesia bagian Tengah, terutama perbedaan harga antara Indonesia Barat dan Timur (seperti Iran jaya di mana harga satu sak semen bisa mencapai Rp1 juta lebih, sementara di Indonesia bagian Barat cuma Rp60 ribuan).

Di abad dulu, jaman imperalisme bangsa Eropa menetapkan 3 (tiga) pilar ekspansi dengan "gold" - kekayaan materi, "golpest" - misi keagamaan, "glory" - kejayaan.
Di dunia dulu ada satu negara kepulauan yang sangat kuat yaitu : Inggris.
Mengapa negara ini kuat? - Karena  armada kelautan mereka yang kuat, mereka menjajah, menapaki negeri-negeri lain oleh karena kuatnya armada laut mereka, sehingga jika saat ini negara-negara belahan dunia akan memakai hukum laut, maka mereka menetapkan -- "English Law to Apply."
Inggris kalau kita lihat peta negaranya di Eropa sana, negara ini pun sama dengan Indonesia, sama-sama negeri kepulauan. Dari luas negara, negeri Inggris kecil, tidak sebesar Indonesia, luas daratan Inggris kira-kira besarannya tidak lebih dari pulau Kalimantan ditambah pulau Jawa. Namun saat ini di dunia, bahasa Internasional yang dipakai adalah bahasa Inggris, karena anak bangsa negeri ini dulu orang-orangnya pernah menapaki kakinya hampir di seluruh daratan penjuru dunia.

Beberapa waktu sebelum imperalisme Eropa, kita punya kerajaan Majapahit, yang juga kuat dari sisi armada lautnya, namun tidak se-ekspansif Inggris. Begitu pula bangsa dari rumpun Melayu yang "Nenek Moyangnya" adalah pelaut, namun suku Melayu lebih menekankan dari sisi komersilisasi laut atau dari sisi nelayan saja. Bilamana ada istilah di negara kita "Nenek Moyangku Seorang Pelaut..." ini pepatah kita dulu dan seiring dengan berjalannya waktu, semakin hari dilupakan anak-anak bangsa di negeri ini.
Bukti bahwa suku Melayu adalah pelaut dan menapaki daratan di seluruh Nusantara adalah akar bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Melayu, karena dahulu suku Melay inilah yang melayari wilayah-wilayah di seluruh Nusantara.

Melihat kondisi dekade terakhir ini maka peranan sektor transportasi laut di negeri kita harus kembali dihidupkan. Tidak ada kata terlambat. Mari kita lihat satu sisi saja, kami ulangi satu sisi saja! Lihat peta Indonesia dan lihat Selat Malaka..!
Ada tiga negara yang secara langsung menjadi lintasan sepanjang Selat Malaka. Yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia.  Jika kapal-kapal niaga dari Eropa, Persian Gulf, India, Bangladesh akan ke Far East (ASEAN, China, Korea dan Jepang), maka jalan laut yang terpendek pasti melewati Selat Malaka. Demikian pula sebaliknya kapal-kapal untuk melakukan perdagangan dari Far East akan menuju ke Eropa, Persian Gulf dan India, juga melewati Selat Malaka.
Pernahkah kita melakukan survey, berapa juta kapal yang melewati Selat Malaka dalam setahun? Negara mana yang paling menikmati keberadaanSelat Malaka? Negara mana yang paling meraup keuntungan lalu-lalangnya kapal-kapal laut dengan keberadaan Selat Malaka? Sudahkan kita berfikir, bagaimana Selat Malaka dimanfaatkan oleh Indonesia?
Singapura negeri yang boleh dibilang setitik di peta bumi (lihat peta atas), tapi perekonomian ASEAN dan bahkan perekonomian Indonesia dapat disetir oleh negara singa ini.  Malaysia pun tak mau ketinggalan membuat pelabuhan "Tanjung Pelepas" guna menyaingi Singapura demi kemanfaatan Selat Malaka ini. Dari sisi pundi-pundi pemasukan devisa berapa juta dollar potensi Indonesia yang hilang, disebabkan Indonesia tidak memanfaatkan ramainya lalu-lalang kapal-kapal niaga dari penjuru dunia yang melewati Selat Malaka...

Singkatnya menurut hemat  kami pada kesempatan ini, via blog ini kami mencoba "Reminder" kepada seluruh komponen bangsa Indonesia bahwa jika Indonesia ingin menjadi :

- Poros Laut Dunia,
- Memahami lebih spesifik apa itu Tol Laut

Dua hal di atas yang sering disuarakan nyaring di media Nasional, maka Bangsa Indonesia perlu :

A. Memiliki pengetahuan berkenaan dengan sektor transportasi niaga laut, (tidak melulu
    sektor perikanan, ikan tangkap, budi daya ikan, rumput laut dan terumbu karang)
B. Para elit bangsa Indonesia yang harus memiliki "Visi Pembangunan Ekonomi"
     berbasis kelautan.

Dua hal di atas itu saja cukup.

Oleh sebab itu, kami sebisa mungkin menyempatkan diri membuat blog ini, guna sharing pengalaman, sharing pengetahuan kami yang keseharian sebagai praktisi sektor transportasi laut di Indoensia. Semakin banyak bangsa kita memiliki pemahaman di sektor transportasi kelaut, maka semakin besar potensi negeri kita melangkah maju di sektor transportasi laut. Kesempatan era Presiden Jokowi-JK yang nyaring menyuarakan "Tol Laut" dan para akademisi dan pelaku kelautan yang juga nyaring menyuarakan "Poros Laut" seakan kami ikut arus di dalamnya meramaikan sektor kelautan di Indonesia.

Penutup - Tak lain dan tak bukan kami membuat blog ini guna kebaikan bersama, menambah serta mengembangkan wawasan potensi bangsa kita dari sektor transportasi laut, sehingga teriakan nyaring di media perihal "Tol Laut" dan "Poros Laut" ini singkron dengan pemahaman bangsa kita apa itu transportasi laut di Indonesia.

Bersambung ke "Tol Laut"